“Maafkan aku, tidak ada
maksud melangkahimu.”
Ucap Sarah kepadaku
seraya menyerahkan kartu undangan berwarna putih dengan corak bunga mawar merah muda. Aku
masih menatap nanar kartu tersebut. Ketiga kalinya aku mendapatkan undangan
pernikahan dari seseorang yang dulu pernah dekat denganku. Namun, kali ini
rasanya sungguh menyesakkan dada. Di sana tertulis nama Sarah dan Dio. Sarah
adalah teman dekatku sejak kuliah, sedangkan Dio adalah seseorang yang pernah
menyatakan maksudnya untuk melamarku.
Kala itu aku belum siap
karena studiku belum usai serta kedua orang tua tak mengizinkan kami bersama. Benar
bahwa penyesalan selalu datang di akhir. Aku memasang gurat senyum di wajah
menyambut kabar bahagia dari Sarah, sungguh berbanding terbalik dengan hati
yang kini menangis.
“Selamat ya, Semoga
lancar dan dimudahkan sampai hari-H.”
“Terima kasih Del,
sungguh kamu sahabat terbaikku. Aku berharap kamu datang ya!”
Kedua lengan Sarah
memegang bahuku. Aku mengangguk sambil menyunggingkan senyuman di wajah. Kedua
mata Sarah berbinar melihat sikapku yang meng-iya-kan untuk menghadiri
undangannya. Telepon seluler Sarah berdering memecah kebahagiaan kami. Ada
gurat senyum yang semakin lebar saat ia menerima telepon.
“Mas Dio nelpon Del!
Sebentar ya aku angkat dulu.”
Aku kembali menyeruput green tea yang mulai dingin. Sambil
memerhatikan gerak gerik Sarah menjawab setiap perkataan Dio. Dua minggu lagi
mereka akan melangsungkan pesta pernikahan. Tentu ada banyak hal yang perlu
dipersiapkan. Undangan sudah tersebar, dan aku mendapatkannya secara langsung
dari calon mempelai. Betapa spesialnya aku di mata Sarah. Meskipun pada
akhirnya dia yang menikah dengan Dio.
“Mas Dio! Halo? Mas?”
Gurat wajah Sarah
berubah. Senyum bahagianya hilang seketika. Ia menggigit ujung bibirnya.
“Tadi aku dengar Mas
Dio teriak, setelah itu sambungan telepon kami terputus.”
“Tenang, coba telepon
balik”
Sarah menggelengkan
kepalanya. Telepon yang dituju tak tersambung sama sekali.
“Memangnya tadi saat di
telepon Mas Dio sedang di mana?”
“Aku tak tau tepatnya,
yang jelas Mas Dio sedang melakukan perjalanan menuju ke sini untuk
menjemputku.”
Satu setengah jam kami
menunggu, namun tak ada tanda-tanda kehadiran Dio. Mestinya setengah jam
perjalanan Dio sudah sampai di sini. Sambil menunggu aku asyik berselancar
melihat kabar berita terkini. Ada berita kecelakaan lalu lintas tak jauh dari Cafe tempatku dan Sarah berada. Aku
membuka informasi lengkapnya. Telepon seluler Sarah berdering lagi. Katanya
dari nomor tak dikenal.
Belum tuntas aku
membaca berita lengkap tersebut. Sarah menjatuhkan telepon seluler dari
genggamannya. Beriringan dengan tubuhnya yang terkulai lemas. Air matanya
mengalir membasahi pipi dan kerudungnya.
“Mas Dio meninggal
Del.”
“Innalillahi”
Aku memeluk Sarah
mengelus kepala dan menepuk-nepuk punggungnya. Memang bahwa jodoh tiada yang
pasti. Satu hal yang pasti datang adalah kematian. Seketika aku turut merasakan
pedih yang berlapis-lapis. Sungguh rasanya bagai petir di siang bolong. Langit
yang cerah seketika turun hujan disertai petir yang saling menyambar. Aku hanya
bisa mencoba menenangkan Sarah karena ia pasti sangat merasa terpukul atas
kepergian calon suaminya.