Oleh: Neisa Andriana*
Subuh yang sunyi. Si
Tengah di rumah sepupunya, Si Bungsu saya biarkan lelap –semakin nyenyak bila
tidur di kamar mamanya–, Sang Ayah sedang di luar kota. Setumpuk buku dan
kertas berserakan di meja makan. Saya masih berkutat dengan artikel yang harus
saya selesaikan, ketika Si Sulung datang dan duduk berhadapan dengan saya.
“Mama, jelaskan pada
saya, kenapa tidak boleh pacaran.”
Saya menatapnya
dalam-dalam.
Sosok mungilnya menjelma di kepala. Saat di koenSaginuma, mengejar shabondama, merpati, atau saat matanya berbinar-binar ketika menjatuhkan remah-remah roti untuk ikan-ikan mas di danau dekat kampus Ayahnya. Kini ia sudah bukan lagi anak perempuan kecil yang dikomentari gadis-gadis Jepang: laksana boneka. Ia sudah jadi gadis yang siap mekar jadi bunga, yang (semoga) bisa menyebarkan keharuman dan keceriaan di sekitarnya.
Sosok mungilnya menjelma di kepala. Saat di koenSaginuma, mengejar shabondama, merpati, atau saat matanya berbinar-binar ketika menjatuhkan remah-remah roti untuk ikan-ikan mas di danau dekat kampus Ayahnya. Kini ia sudah bukan lagi anak perempuan kecil yang dikomentari gadis-gadis Jepang: laksana boneka. Ia sudah jadi gadis yang siap mekar jadi bunga, yang (semoga) bisa menyebarkan keharuman dan keceriaan di sekitarnya.
“Sederhana saja,
karena Allah melarang,” kata saya santai. Ia diam tak bereaksi. “Karena
Allah-lah yang lebih tahu tentang apa yang terbaik bagi manusia. Lebih tahu
daripada kita sendiri. Apa-apa yang Ia perintahkan maka itu pasti baik bagi
kita, dan apa-apa yang Ia larang, maka itu pasti tidak baik untuk kita.”
Mendadak, ia tersenyum
lebar sekali. Tapi tak berkata-kata.
“Kenapa?” tanya saya.
Si Sulung tetap diam dengan senyum lebarnya. “Ingin jawaban lain?”
“Nggak.”
“Loh, kok cepat begitu
menyerah?” giliran saya yang tersenyum lebar, disertai tawa.
“Ginih loh Mah.
Kemarin itu di sekolah, ada kakak kelas, cowok, nanyain apa saya suka dia.
Terus saya bilang, ya suka. Dia nanya lagi, masak sih… Demi apa… Saya jawab, ya
Demi Allah. Kan saya suka Kak A, B, C, D, E…,” Si Sulung menyebutkan banyak
sekali nama, baik laki-laki maupun perempuan. “Kata Mama, saya mesti suka sama
semua orang, karena semua orang itu hakikatnya baik.”
“Terus?”
“Eeeh… Kakak itu malah
ketawa ngangguk-ngangguk, katanya saya lucu, lucu banget…”
Saya ikut tersenyum
mendengar cerita Si Sulung. Yah, kenapa sih suka sama orang itu selalu mesti diartikan
sesuatu yang bernuansa romantis antar lawan jenis? Bukankah kita diperintahkan
untuk mengasihi sesama
manusia? Apa sih yang istimewa dari yang namanya pacaran dibanding
rasa kasih sayang secara umum pada sesama manusia?
“Asyik kan kalau kita
sayang semua orang. Gak usah pilih-pilih? Emang apa sih enaknya pacaran itu…?”
tanya saya retorik.
Si Sulung hanya diam.
“Yaaah… mungkin yah…
Pacaran itu asyik awalnya. Doki-doki suru, bahagia…, tapi setelahnya apa, gitu
loh…? Mau ngapain? Nikah? Belum waktunya juga kan? Coba lihat ABG-ABG yang
pacaran, apa coba hasilnya… Paling putus, cari pacar baru, putus lagi, cari
lagi… Capek hati. Kayak lagu-lagu lebay yang sekarang banyak diputar di
mana-mana, tentang janji seseorang mencintai seseorang selamanya. Lebay banget.
Berapa banyak orang yang pacaran dulu, terus nikah, tapi toh akhirnya berpisah juga.
Ada juga yang gak pacaran dulu, nikah, tapi bisa langgeng… Orang itu kalau
serius, nikah aja. Gak usah pacaran. Berani bertanggung jawab. Toh perasaan itu
memang akan berubah terus kok. Hari ini suka, besok-besok jadi benci.”
“Kalau nikah, Ma…
perasaannya juga berubah?”
“Ya, nikah juga
begitu.”
“Ih, serem… Terus,
gimana dong kalau udah nikah terus gak suka lagi?”
“Karenanya mesti ada
yang lebih besar dari persoalan perasaan lebay-lebay-an itu. Yakni perasaan
ingin beribadah kepada Allah. Perasaan suka yang bukan sekedar karena tampilan
fisik atau keren-kerenan apaa gitu. Suka karena dia memang baik. Baik
akhlaknya, baik hatinya, baik pada Tuhan-nya, baik imannya.”
“Ooooh…” Si Sulung
menganggukkan kepala.
“Tahu gak sayang,
laki-laki itu, kalau untuk main-main, dia akan cari wanita yang cantik. Yang
enak dipandang. Tapi coba perhatikan, betapa banyak wanita yang cantik dilihat,
dipermainkan laki-laki. Kalau laki-laki itu niatnya mau serius, mau bertanggung
jawab, mencari teman hidup untuk di-setia-in, dia akan cari wanita yang baik
hatinya, baik pikirannya, baik akhlaknya. Hati, pikiran dan akhlak itulah yang
bisa melanggengkan hubungan antara keduanya.”
“Iya Ma… aku juga gak
liat orang dari fisiknya kok. Tapi dari hatinya.”
“Baguslah. Tahu gak
sayang, waktu Mama masih SMP dulu, teman-teman cowok Mama sampai ada yang
kalah-kalahan, berapa orang cewek sudah yang mereka cium.”
“Hiy.”
“Iyah, beneran.
Padahal mereka itu teman Mama yang biasa-biasa saja, nggak bandel-bandel amat.
Jadi, anak-anak SMP, atau SMA, tuh kalau yang namanya pacaran, sebenarnya buat
main-mainin cewek aja. Iih… emangnya cewek mainan. Sayangnya, ada juga cewek
yang senang banget dijadiin mainan.”
“Iya Ma! Bener!
Kadang-kadang mereka sampai taruhan, siapa yang bisa dapetin siapaaa gitu, dapat
seratus ribu.”
“Ih, enak ajah. Rugi
amat tuh kalau ada cewek yang mau dijadiin bahan taruhan.”
Si Sulung mengangguk,
sambil matanya menerawang.
“Aku gak mau pacaran.
Nikah ajah ntar.”
“Amin…”
“Aku pengen dapat
suami kayak Bapak.”
“Minimal kayak Bapak…,
okey?” kata saya sambil mengedipkan mata.
“Iih… susah banget tuh
nemu. Yang kayak Bapak aja kayaknya langka banget deh… Kayaknya sekarang
laki-laki pada gak bener…”
“Hehehe… insya Allah
banyak kooook… Kalau kita pengen dapat jodoh orang baik, ya yang paling pertama
kita harus memperbaiki diri kita sendiri. Insya Allah, Allah akan mempertemukan
kita dengan orang baik. Jadilah muslimah yang jauh lebih baik dari Mama, semoga
berjodoh dengan muslim yang juga lebih baik dari Bapak.”
“Kalau gak ketemu?”
“Jangan
ber-’kalau-kalau’, kata Nabi. Ntar susah sendiri. Kenapa dibahas yang nggak
atau belum terjadi, kan?”
Si Sulung tersenyum
lebar.
*Seorang ibu rumah
tangga dengan hobi menulis, diambil dari web pribadinya http://www.closertojapan.com/
0 comments:
Post a Comment