Aku
pejamkan kedua mataku. Namun entah kenapa sosoknya justru semakin jelas
terlihat. Senyumnya terkembang. Gigi gingsulnya melengkapi segurat senyuman.
Manis. Pipinya merah merona bagai buah delima yang ranum. Aku tutup kedua telingaku.
Namun entah kenapa aku semakin jelas mendengar tawa candanya. Suaranya
yang
begitu khas layaknya suara anak-anak berceloteh. Begitu melekat, erat.
Apa ini?
Kenapa sosoknya begitu sulit dilupakan? Tatkala dia tampil di depan umum saat
itulah kedua mataku tak berkedip. Saat itulah kedua telingaku merekam jelas
suaranya, canda riangnya. Tak pernah sebelumnya aku merasa seperti ini. Ingin
rasanya aku kenal lebih dekat dengannya.
Acara
seminar hari ini pun usai. Aku hendak menghampiri dia untuk sekedar foto
bersama. Kemana dia? Ah itu dia tengah asik bercengkrama dengan teman
sekelompoknya.
“Boleh foto
bareng? ” ajakku.
“Hmm..
boleh gak yaah?” jawab gadis berjilbab putih itu. Kemudian ia menutup wajah
dengan kedua tangannya seraya berkata “Silakan kalau mau dipoto”.
Kemudian aku
berdiri di sampingnya namun agak berjauhan, akupun tidak melihat kamera. Badanku
menyamping sehingga jadilah foto yang tampak di gambar itu. Entah mengapa aku
sangat suka foto tersebut. Karena dibalik foto itu ada cerita yang sangat
berkesan untukku. Sejak aku meminta foto bersama aku terus perhatikan dia. Walaupun
ia tak tahu bahwa aku selalu perhatikannya.
Sebuah kenangan
tak terlupakan saat rombongan peserta kegiatan ini pelesir di Bali. Tempat yang
kami kunjungi adalah kantor gubernur Bali. Disana kami disambut hangat oleh
Bali, sebuah audiensi dengan gubernur Bali. Tapi bukan disini pengalaman tak terlupakannya.
Setelah itu rombongan kami pergi ke monument perjuangan rakyat Bali (Monju). Cukup
ditempuh dengan berjalan kaki dari kantor Gubernur tadi.
Dari kejauhan
tampak sebuah bangunan berdiri megah bak candi. Dengan sebuah menara menjulang
ke langit. Ya itulah Monju. Sesampainya di Monju, mata ini berpendar-pendar
mencari sosok dia. Ah itu dia, tengah berfoto bersama dengan teman
sekelompoknya. Saat itu terpercikkan rasa-rasa kesal. Entah mengapa dia bisa
dekat dengan salah seorang laki-laki sekelompoknya. Kemanapun ia pergi pasti
selalu bersama laki-laki itu. Sepertinya aku cemburu.
Aarrgghh kenapa
pula aku mesti cemburu dengan apa yang belum aku miliki? Aku menjauh dari gadis
itu. Setelah puas melihat-lihat sejarah rakyat Bali dan berfoto-foto ria
langkahku terhenti. Dia tampak riang sekali memberi makan ikan-ikan yang ada di
kolam sekitar Monju. Sedangkan teman laki-lakinya asik memfoto dia. Kala itu
aku berdiri di belakang dia. Klik! Akupun secara tidak sengaja terfoto bersama
dia.
Mungkin bagiku
moment untuk foto dengan dia itu sangat langka. Oleh karenanya moment tersebut
menjadi moment tak terlupakan. Pelayaran pun berlanjut lagi menuju daerah timur
Indonesia, Nusa Tenggara Timur. Selama disana aku berpisah cukup lama dengan
dia. Terlebih lagi saat homestay di
Kupang. Aku dan dia berbeda kelurahan. Sedih? Tidak juga, karena selalu ada
kesempatan untuk dipertemukan kembali. Saat pelesir ke pantai Lasiana, saat
acara puncak di Gong Perdamaian, sampai pelesir di Museum Komodo, sampai di
Pulau Komodo. Mungkin dia tak pernah sadar bahwa aku sering, bahkan terlalu
sering perhatikan dia. Biarlah dia tak mesti tahu.
Sampailah
di puncak acara kegiatan ini yang bertempat di Labuan Bajo. Sehari sebelum
acara puncak, kami mengadakan kegiatan bakti sosial disini. Penanaman pohon di
hutan kota Manggarai barat. Namun saat itu hanya ada empat bus untuk mengakut
para peserta ke lokasi. Hanya setengah dari peserta yang bisa ikut. Aku bersyukur
karena sudah duduk di dalam bus. Sedangkan dia belum, masih berada di luar. Mencari-cari
bus yang masih kosong.
Mataku seakan
berbicara saat dia ada di depan pintu bus. Aku berdiri dari tempat dudukku
mempersilakan dia untuk duduk, walaupun pada akhirnya kita berdua sama-sama
berdiri. Dia berdiri di dekat pintu keluar, sedang aku berdiri di dekat tempat
dudukku.
Bakti sosial
pun berlangsung. Penanaman pohon di hutan kota bersama anak-anak Sekolah Dasar
(SD). Setelah usai penanaman pohon bakti sosial dilanjutkan dengan pemberian
tas dan perlengkapan sekolah untuk anak-anak SD ini. Aku tak luput mengabadikan
moment-moment ini , termasuk mengabadikan dia.
Sepertinya dia
mulai tersadar bahwa aku sering perhatikan dirinya. Dia akan memalingkan
wajahnya tatkala sadar sedang aku perhatikan. Selalu senyum manisnya terkembang
kala aku perhatikan dia. Namun satu hal, aku tak pernah berani untuk sekedar mendekati
dia, mengajak ngobrol dia. Aku hanya berani memperhatikan dia, mengambil
fotonya dari kejauhan. Tak berani, sungguhku tak berani. Keesokan harinya acara
puncak pun tiba. Aku duduk di tempat yang jauh darinya. Namun tetap satu
barisan. Seperti biasa, aku hanya memperhatikan dia dari kejauhan.
Perjalanan pun
berlanjut lagi, menuju perjalanan pulang. Walaupun sempat singgah di Bali lagi,
tetap seperti biasa, aku hanya memperhatikan dia dari kejauhan. Kapal berlayar
lagi. Waktu pulang pun semakin dekat. Malam terakhir adalah malam terpanjang
buatku. Benar-benar semua peserta diatas kapal ini tidak tidur semalam suntuk. Hanya
sekedar berkangen-kangen ria sebelum dipisahkan kembali ke daerah
masing-masing.
Dia menangis
tersedu-sedu. Begitu jelas terlihat, bening di matanya, di malam terakhir ini. Semua
peserta bermaafan dengan bersalam-salaman. Tak terlewat satupun, hingga tiba
giliran dia bersalaman denganku. Entah mengapa rasanya aku tak mau menyentuh
tangannya.
Aku hanya
menelungkupkan kedua tangan depan dadaku. Tak berani, sungguhpun rasanya tak
pantas aku menyentuh dia yang bukan mahramku. Buatku seorang muslimah itu
bagaikan seorang ratu. Yang mana rakyatnya tak mungkin dan tak pantas untuk
menjabat tangannya. Begitulah seorang muslim memperlakukan muslimah dalam
islam.
Kapal ini
terus melaju. Semakin mendekat ke tujuan akhir kapal ini berlabuh. Tanjung Priok,
Jakarta. Hampir semua peserta telah bersiap di hangar helli. Memperhatikan pelabuhan
yang menjadi tujuan akhir kapal ini. Termasuk dia yang tengah asik berdiri
memperhatikan pelabuhan. Inilah kesempatan emasku untuk sekedar mengajak
ngobrol dia.
“Aurora,
boleh aku meminta nomer handphone mu?” tanyaku membuyarkan lamunannya.
“Ah iya
boleh, ini” jawabnya singkat sambil menunjukkan nomer handphone yang ada di
layar HP-nya. Lantas aku segera mencatatnya.
“Tapi, nomer
yang tadi tidak aktif, bagaimana kalau aku yang mencatat nomermu?” dia
menawarkan solusi.
“Baiklah,
ini nomer handphoneku,” akupun menunjukkan nomerku.
“Ngomong-ngomong
siapa namamu?” tanya dia.
“Songha,”
jawabku singkat. “Terimakasih yah, nanti hubungi aku kalau nomernya sudah
aktif.” Ungkapku lagi.
Kapal ini
pun berlabuh. Pada saat bersamaan ada dua hal yang berlabuh. Pertama sebuah kapal
karena memang sudah saatnya berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok ini. Hal yang kedua
adalah hati. Karena sudah saatnya
melabuhkan perasaan itu. Kala itu telah
terbersit sebuah harapan dan cahaya baru yang menerangiku. Kala itu hatiku
telah berlabuh setelah sekian lama tak ada yang menjadi tempat labuhan hati
ini.
0 comments:
Post a Comment