Thursday, February 23, 2012

Patahan Luka (part 1)

Posted by Gigikucing at 10:26 AM

Gelap. Sebuah lampu neon 25 watt yang benderang di kamarku seakan terasa gelap. Terlebih jika aku melihat ke arah kaki kananku. Balutan kapas, penyangga kayu, dan perban melilit di kaki kananku. Tubuhku tak berdaya. Aku lihat jam dinding, detik-detik itu masih bergulir pada porosnya.
Sebentar lagi si detik-detik itu sampai ke pergantian hari. Setiap detik itu beriringan dengan rasa linu di kakiku lengkap sudah dengan bening di mata yang terus mengalir.
“Arrgghhh!
Aduuh Ya Allah, kenapa sakit ini yang Kau berikan kepadaku? Sakiiiit…!”
Teriakku di keheningan malam ini. Adikku yang tengah terlelap di kamar sebelahku tidak bergeming sedikitpun atas jeritanku itu. Sepi yah sepi. Seakan aku merasa sendiri hidup di dunia ini. Tak ada belaian kasih sang ibu, ataupun perhatian ayah. Mereka ada, namun mereka tak disini. Mereka telah sibuk dengan dunianya masing-masing.
Mereka sempat tersentak setelah mendengar kabarku yang sekarang ini. Namun tetap saja mereka tak ada disini. Di sisi lain aku berharap mereka dapat bersatu lagi, tinggal disini utuh satu keluarga.
Pun begitu teman-temanku telah pulang karena malam yang semakin larut. Mereka harus menyiapkan diri untuk pergi kuliah di esok harinya. Sedangkan aku? Mungkin selama berbulan-bulan aku harus beristirahat di rumah ini. Rumah yang diwariskan untukku.
Waktu terasa begitu cepat. Detik-detiknya masih saja beriringan dengan linu dari tulang kakiku yang patah ini. Sekali lagi aku melirik ke arah jam dinding menunjukan 02.00 dini hari. Ingin rasanya aku salat malam. Terakhir aku salat malam adalah saat akan melakukan ujian tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pada kenyataannya aku tak lulus ujian itu. Semenjak itupun aku tidak pernah salat tahajud lagi.
Aku meluruskan niatku untuk salat malam ini. Tanganku menyentuh dinding untuk bertayamum. Semua aktifitasku dilakukan di kamar ini. Apakah itu salat, makan, buang air kecil, entahlah itu dengan buang air besar belum terbayang bagaimana nantinya aku. Mandi pun begitu, semenjak kecelakaan di lapangan sepak bola sore tadi aku masih menggunakan celana sepak bola. Mungkin hanya di lap saja oleh tetanggaku sekaligus saudaraku.
Debu kering itu menyentuh wajahku, tidak sesegar berwudhu dengan air. Masih di tempatku terbaring, terhanyut dalam salat malamku sambil duduk tentu saja dengan kaki selonjor. Bening di mata tak ada hentinya mendesak untuk keluar. Terlebih saat aku berdoa kepada-Mu Ya Rabb.
“Ya Allah, ampunilah aku. Ampunilah segala dosaku. Aku sadar ini adalah teguranmu. Sering aku lalai akan seruanmu, sering aku gunakan kaki ini untuk menyakiti orang lain, aku sering lalai memenuhi seruan-Mu untuk salat di masjid. Ya Allah sembuhkanlah aku dari sakit ini. Sembuhkanlah sampai tidak ada rasa sakit sedikitpun.”
Entah berapa tetes air mata yang aku keluarkan. Waktu menuju subuh masih 45 menit lagi. Aku ingin membaca Al-Quran. Entah berapa lama aku juga tak pernah membacanya. Al-Quran itu tersimpan rapi di rak buku. Ah aku ingin membacanya sekarang. Namun jaraknya cukup jauh dari tempatku terbaring.
Pokoknya aku ingin membacanya. Aku lihat kakiku. “Ayo kaki, sekali ini saja berjalan kesana untuk membawa Al-Quran” bisikku. Aku mengambil dua buah tongkat yang dibawakan temanku. Yah aku bisa berjalan, perlahan tapi pasti. Sampai aku membawa Al-Quran itu.
Bacaanku masih terbata-bata, bahkan untuk khatam Al-Quran pun aku tidak pernah. Padahal kini aku sudah tingkat tiga di kampus. Entah kenapa malam ini aku sangat cengeng. Lengkap sudah air matapun terjatuh lagi saat aku berusaha membaca Al-Quran ini.
Alam seperti bersahut-sahutan menyerukan seruan yang sempurna. Lengkap sudah malam ini aku memang tidak bisa tidur. Ku menutup Al-Quran sambil menyeka bening yang terus keluar. Saatnya salat subuh. Ingin rasanya aku salat di masjid. Namun apa daya dengan kaki yang seperti ini.
Jikalau nanti aku sudah sembuh, aku ingin salat di masjid setiap 5 waktu. Jerit hatiku.
Rana, adikku bangun setelah mendengar suara adzan itu. Ia bergegas menuju toilet untuk cuci muka dan berwudhu.
“Ran, mau ke masjid kan?”
“Ia, kenapa kak?” Tanya Rana menghentikan langkahnya.
“Titip doa ya, doakan kakak agar lekas sembuh.”
“Insya Allah kak, pasti di doakan”
Adikku satu-satunya ini sangat rajin, bahkan dialah yang sering megingatkanku untuk salat bareng di masjid. Namun aku tidak pernah mengindahkan perkataannya. Selalu saja aku hiraukan ajakannya. Ah, aku menyesal lagi. semua sesalku terus meluap-luap. Air mataku sudah kering, tak lagi ku kuras bening di mata.
Setelah kembali dari masjid, adikku lekas bersiap-siap untuk sekolah. Biasanya aku yang mengantarnya ke sekolah. Namun kini apalah daya ini. Untuk berjalanpun susah.
“Ran, maaf yah, kakak gak bisa nganter kamu ke sekolah,” ujarku pelan ketika rana merapikan rambutnya depan cermin kamarku.
“Iya, gak apa-apa kak, sekarang kakak cepat sembuh dulu yah, nanti kan bisa antar Rana lagi,” balas Rana sambil menengok ke arahku.
Aku hanya tersenyum, “Nanti jangan lupa sarapan yah, beli nasi kuning atau bubur saja di tempat biasa.”
“Iya kak, pasti sarapan, kakak baik-baik di rumah ya,” ujar Rana bergegas pergi ke sekolah.
“Hati-hati di jalan yah.”
Entah kata-kataku di dengar atau tidak, yang jelas aku tak lupa doakan adikku agar selamat di perjalanan menuju sekolahnya. Mataku mulai terasa berat, padahal matahari baru saja menggeliat di ufuk timur. Terang saja malam ini aku tidak memejamkan mata selain bersimbah air mata. Perlahan mataku menutup, rapat, dan semakin berat untuk dibuka lagi.

Tok…tok…tok…
“Assalamu’alaikum.”
Sayup-sayup terdengar suara ketukan pintu di ikuti suara lembut seorang wanita. Ku paksa mataku yang berat agar membuka.
“Ya, silahkan masuk, tidak dikunci,” teriakku sambil menoleh ke arah datangnya sumber suara.
Perempuan berkerudung merah muda itu datang menjengukku. Bersama sahabat yang dekat dengannya di kampus, datang ke rumahku dengan langkah malu-malu. Rasya dan Alma namanya. Lalu Raysa mengeluarkan kotak nasi yang dibungkus kain dari tas ungunya, dan menyerahkannya kepadaku.
“Ini kak, habiskan yaa, pasti belum sarapan kan?”
“Eh, kok malah jadi ngerepotin gini?”
“Ayo makan sarapannya, ini Raysa yang masak lho!” sela Alma.
“Ya udah nih mau dimakan, sebelumnya makasih banyak ya,”
Rasya adalah perempuan baik hati. Seperti ibuku. Parasnya memang tidak sama percis, kelembutan hatinya lah yang begitu terpancar dari setiap tingkah lakunya yang tulus. Begitupun Alma, sahabatnya. Keduanya baik hati, namun yang paling baik hatinya adalah Rasya.
Rasya melihat jam di tangannya. Seperti panik.
"Ada apa Ras?" tanyaku pelan.
"Ini ka, udah jam sembilan, Rasya minta diri yah. Mau ke kampus," jawabnya pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Ia kak, maaf yah ngga bisa lama-lama, di doain aja semoga kakak lekas sembuh yah," sela Alma.
Aku tersenyum simpul.
"Ia, gak apa-apa. Maaf udah ngerepotin yah. Hati-hati di jalan ke kampusnya yah."
 Setelah mengucap salam mereka bergegas meninggalkanku.
Masih jam sembilan, matahari baru naik sepenggalan. Teringat kata-kata seorang ustad, pada waktu matahari nai sepenggalan lakukanlah salat dhuha. Mintalah rezeki, tak usah sungkan.
Ya, waktu yang tepat, aku ingin segera sembuh, dan dapat melakukan aktifitasku seperti biasa.
Sakit dan linu itu masih saja belum bersahabat denganku. Ketika salat, linu di kaki kananku malah semakin menjadi saja. 

To Be Countinue to  Patahan Luka (part 2)

0 comments:

Post a Comment

 

Coretan Gigi Kucing Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea