Gelap. Sebuah lampu
neon 25 watt yang benderang di kamarku seakan terasa gelap. Terlebih jika aku
melihat ke arah kaki kananku. Balutan kapas, penyangga kayu, dan perban melilit
di kaki kananku. Tubuhku tak berdaya. Aku lihat jam dinding, detik-detik itu masih
bergulir pada porosnya.
Sebentar lagi si
detik-detik itu sampai ke pergantian hari. Setiap detik itu beriringan dengan
rasa linu di kakiku lengkap sudah dengan bening di mata yang terus mengalir.
“Arrgghhh!
Aduuh Ya Allah, kenapa sakit ini yang Kau berikan kepadaku?
Sakiiiit…!”
Teriakku di keheningan
malam ini. Adikku yang tengah terlelap di kamar sebelahku tidak bergeming
sedikitpun atas jeritanku itu. Sepi yah sepi. Seakan aku merasa sendiri hidup
di dunia ini. Tak ada belaian kasih sang ibu, ataupun perhatian ayah. Mereka ada,
namun mereka tak disini. Mereka telah sibuk dengan dunianya masing-masing.
Mereka sempat
tersentak setelah mendengar kabarku yang sekarang ini. Namun tetap saja mereka tak
ada disini. Di sisi lain aku berharap mereka dapat bersatu lagi, tinggal disini
utuh satu keluarga.
Pun begitu
teman-temanku telah pulang karena malam yang semakin larut. Mereka harus
menyiapkan diri untuk pergi kuliah di esok harinya. Sedangkan aku? Mungkin
selama berbulan-bulan aku harus beristirahat di rumah ini. Rumah yang
diwariskan untukku.
Waktu terasa begitu
cepat. Detik-detiknya masih saja beriringan dengan linu dari tulang kakiku yang
patah ini. Sekali lagi aku melirik ke arah jam dinding menunjukan 02.00 dini
hari. Ingin rasanya aku salat malam. Terakhir aku salat malam adalah saat akan
melakukan ujian tes masuk Perguruan Tinggi Negeri. Pada kenyataannya aku tak
lulus ujian itu. Semenjak itupun aku tidak pernah salat tahajud lagi.
Aku meluruskan niatku
untuk salat malam ini. Tanganku menyentuh dinding untuk bertayamum. Semua aktifitasku
dilakukan di kamar ini. Apakah itu salat, makan, buang air kecil, entahlah itu
dengan buang air besar belum terbayang bagaimana nantinya aku. Mandi pun
begitu, semenjak kecelakaan di lapangan sepak bola sore tadi aku masih
menggunakan celana sepak bola. Mungkin hanya di lap saja oleh tetanggaku
sekaligus saudaraku.
Debu kering itu
menyentuh wajahku, tidak sesegar berwudhu dengan air. Masih di tempatku
terbaring, terhanyut dalam salat malamku sambil duduk tentu saja dengan kaki
selonjor. Bening di mata tak ada hentinya mendesak untuk keluar. Terlebih saat
aku berdoa kepada-Mu Ya Rabb.
“Ya Allah, ampunilah aku. Ampunilah segala dosaku. Aku sadar ini adalah
teguranmu. Sering aku lalai akan seruanmu, sering aku gunakan kaki ini untuk
menyakiti orang lain, aku sering lalai memenuhi seruan-Mu untuk salat di
masjid. Ya Allah sembuhkanlah aku dari sakit ini. Sembuhkanlah sampai tidak ada rasa sakit sedikitpun.”
Entah berapa tetes air
mata yang aku keluarkan. Waktu menuju subuh masih 45 menit lagi. Aku ingin
membaca Al-Quran. Entah berapa lama aku juga tak pernah membacanya. Al-Quran
itu tersimpan rapi di rak buku. Ah aku ingin membacanya sekarang. Namun
jaraknya cukup jauh dari tempatku terbaring.
Pokoknya aku ingin
membacanya. Aku lihat kakiku. “Ayo kaki,
sekali ini saja berjalan kesana untuk membawa Al-Quran” bisikku. Aku
mengambil dua buah tongkat yang dibawakan temanku. Yah aku bisa berjalan,
perlahan tapi pasti. Sampai aku membawa Al-Quran itu.
Bacaanku masih
terbata-bata, bahkan untuk khatam Al-Quran pun aku tidak pernah. Padahal kini
aku sudah tingkat tiga di kampus. Entah kenapa malam ini aku sangat cengeng.
Lengkap sudah air matapun terjatuh lagi saat aku berusaha membaca Al-Quran ini.
…
Alam seperti
bersahut-sahutan menyerukan seruan yang sempurna. Lengkap sudah malam ini aku
memang tidak bisa tidur. Ku menutup Al-Quran sambil menyeka bening yang terus
keluar. Saatnya salat subuh. Ingin rasanya aku salat di masjid. Namun apa daya
dengan kaki yang seperti ini.
Jikalau nanti aku sudah sembuh, aku ingin salat di masjid setiap 5
waktu. Jerit hatiku.
Rana, adikku bangun
setelah mendengar suara adzan itu. Ia bergegas menuju toilet untuk cuci muka
dan berwudhu.
“Ran, mau ke masjid
kan?”
“Ia, kenapa kak?”
Tanya Rana menghentikan langkahnya.
“Titip doa ya, doakan
kakak agar lekas sembuh.”
“Insya Allah kak,
pasti di doakan”
Adikku satu-satunya
ini sangat rajin, bahkan dialah yang sering megingatkanku untuk salat bareng di
masjid. Namun aku tidak pernah mengindahkan perkataannya. Selalu saja aku
hiraukan ajakannya. Ah, aku menyesal lagi. semua sesalku terus meluap-luap. Air
mataku sudah kering, tak lagi ku kuras bening di mata.
Setelah kembali dari
masjid, adikku lekas bersiap-siap untuk sekolah. Biasanya aku yang mengantarnya
ke sekolah. Namun kini apalah daya ini. Untuk berjalanpun susah.
“Ran, maaf yah, kakak
gak bisa nganter kamu ke sekolah,” ujarku pelan ketika rana merapikan rambutnya
depan cermin kamarku.
“Iya, gak apa-apa kak,
sekarang kakak cepat sembuh dulu yah, nanti kan bisa antar Rana lagi,” balas
Rana sambil menengok ke arahku.
Aku hanya tersenyum,
“Nanti jangan lupa sarapan yah, beli nasi kuning atau bubur saja di tempat
biasa.”
“Iya kak, pasti
sarapan, kakak baik-baik di rumah ya,” ujar Rana bergegas pergi ke sekolah.
“Hati-hati di jalan
yah.”
Entah kata-kataku di
dengar atau tidak, yang jelas aku tak lupa doakan adikku agar selamat di
perjalanan menuju sekolahnya. Mataku mulai terasa berat, padahal matahari baru
saja menggeliat di ufuk timur. Terang saja malam ini aku tidak memejamkan mata
selain bersimbah air mata. Perlahan mataku menutup, rapat, dan semakin berat
untuk dibuka lagi.
Tok…tok…tok…
“Assalamu’alaikum.”
Sayup-sayup terdengar
suara ketukan pintu di ikuti suara lembut seorang wanita. Ku paksa mataku yang
berat agar membuka.
“Ya, silahkan masuk,
tidak dikunci,” teriakku sambil menoleh ke arah datangnya sumber suara.
Perempuan berkerudung
merah muda itu datang menjengukku. Bersama sahabat yang dekat dengannya di
kampus, datang ke rumahku dengan langkah malu-malu. Rasya dan Alma namanya.
Lalu Raysa mengeluarkan kotak nasi yang dibungkus kain dari tas ungunya, dan
menyerahkannya kepadaku.
“Ini kak, habiskan
yaa, pasti belum sarapan kan?”
“Eh, kok malah jadi
ngerepotin gini?”
“Ayo makan sarapannya,
ini Raysa yang masak lho!” sela Alma.
“Ya udah nih mau
dimakan, sebelumnya makasih banyak ya,”
Rasya adalah perempuan baik hati. Seperti ibuku. Parasnya memang tidak sama percis, kelembutan hatinya lah yang begitu terpancar dari setiap tingkah lakunya yang tulus. Begitupun Alma, sahabatnya. Keduanya baik hati, namun yang paling baik hatinya adalah Rasya.
Rasya melihat jam di tangannya. Seperti panik.
"Ada apa Ras?" tanyaku pelan.
"Ini ka, udah jam sembilan, Rasya minta diri yah. Mau ke kampus," jawabnya pelan sambil menundukkan kepalanya.
"Ia kak, maaf yah ngga bisa lama-lama, di doain aja semoga kakak lekas sembuh yah," sela Alma.
Aku tersenyum simpul.
"Ia, gak apa-apa. Maaf udah ngerepotin yah. Hati-hati di jalan ke kampusnya yah."
Setelah mengucap salam mereka bergegas meninggalkanku.
Masih jam sembilan, matahari baru naik sepenggalan. Teringat kata-kata seorang ustad, pada waktu matahari nai sepenggalan lakukanlah salat dhuha. Mintalah rezeki, tak usah sungkan.
Ya, waktu yang tepat, aku ingin segera sembuh, dan dapat melakukan aktifitasku seperti biasa.
Sakit dan linu itu masih saja belum bersahabat denganku. Ketika salat, linu di kaki kananku malah semakin menjadi saja.
To Be Countinue to Patahan Luka (part 2)
0 comments:
Post a Comment