Tuesday, November 10, 2015

Kain Tenun Pengikat Hati (part 1)

Posted by Gigikucing at 1:50 PM
Laut terbentang dari ujung timur hingga barat melintasi batas cakrawala. Membuka jendela pagi di tengah laut Indonesia. Penantian ini akan segera berujung karena telah kulihat setitik pulau di penghujung laut ini. Pelabuhan Kupang, adalah tujuan akhir ku.
Disana aku akan homestay di rumah penduduk selama beberapa hari. Belum terbayangkan bagaimana watak penduduk asli Kupang NTT. Hanya hati yang berprasangka, mungkinkah mereka berwatak keras juga kasar?

Sebuah tepukan di punggung kanan membuyarkan lamunanku. Dia adalah Muti, teman perjalanan selama menuju ke tempat ini. Dia juga sama denganku berasal dari suku sunda asli. Sama-sama akan homestay juga disini. Namun entah apakah kami akan di tempatkan pada kelurahan yang sama.
“Hayoo melamun saja dari tadi! Lagi melamunkan siapa?” Tanya Muti setelah menepuk punggungku.
“Eeh.. ga ko, Cuma liatin titik pulau disana. Kita sebentar lagi sampai kayaknya.” Jawabku.
Sebuah perjalanan panjang untuk menuju kesini dengan menggunakan kapal laut. Mulai berlabuh dari pelabuhan Tanjung Priok sejak seminggu yang lalu, akhirnya sampailah kami ke tujuan akhir persinggahan, Pelabuhan Kupang. Belum sampai memang, mungkin beberapa jam lagi. Aku masih terpaku di geladak kapal memandang laju kapal yang selalu konstan. Memecah keheningan laut lahirkan buih-buih berwarna putih.
Perkiraanku akan segera tiba di Pelabuhan Kupang sekitar tiga jam lagi ternyata meleset, satu jam lebih awal. Tak terasa juga aku telah berdiri selama dua jam di geladak kapal ini. Pengumuman kepada para peserta homestay untuk segera bersiap-siap untuk berlabuh. Aku sudah siap dengan barang bawaanku yang akan dibawa, cukup untuk tiga hari tiga malam disini. Semua peserta berhamburan menuju pintu utama bagaikan semut yang hendak menyerbu makanan, namun tetap rapih berjalan sesuai koridornya masing-masing.
Sebuah tarian khas NTT menyambut kedatangan kami, serta beberapa sambutan-sambutan dari walikota Kupang. Tak lama setelah itu kami dibagikan kelompok-kelompok homestay. Sayang sekali, aku tak satu daerah dengan Muti. Aku ditempatkan di kelurahan Airnona, sedangkan Muti ditempatkan di Kelurahan Manutapen. Hal itu tak menjadi masalah buatku, sebab aku mudah beradaptasi dengan orang sekelilingku. Lain hal nya dengan Muti yang agak sulit beradaptasi dengan orang sekelilingnya.
Sebuah mini Bus membawa kami menuju kelurahan yang dituju masing-masing peserta. Suasana di Kupang jelas berbeda dengan tatar sunda yang sangat dingin. Kupang kebalikannya, sangat panas. Pohon-pohon yang kami lewati berwarna coklat kehitaman, dedaunan menguning adapun yang benar-benar berwarna coklat dan akan berguguran kala tertiup angin. Semak-semak belukar pun berwarna kecoklatan. Sempat hatiku bertanya-tanya, ini betul di Indonesia? atau di luar negri? Yang biasa aku lihat pada sebuah tayangan program televisi saat para reporter asik bekerja sambil jalan-jalan ke luar negeri.
Matahari hampir terbenam sedangkan kami masih dalam mini bus menuju tempat homestay. Sungguh pemandangan yang selalu membuatku takjub kala matahari terbenam. Spektrum-spektrum warna jingga, kuning, merah, ungu, dan biru bercampur jadi satu menjemput tenggelamnya matahari yang akan segera tergantikan oleh kemilau gemintang menemani sinar rembulan.
Akhirnya sampai di kelurahan Airnona, mungkin Muti juga sudah sampai di Kelurahan Manutapen. Sesampainya disana, rombongan kami disambut oleh hidangan makanan khas Kupang. Tampak seperti butiran-butiran jagung yang telah direbus lama kemudian melepuh dan bercampur dengan cairan putih seperti santan. Makanan ini bernama “Jangung Bose”. Rasanya bagaikan nasi jagung yang melepuh di lidah, gurih sekali, dan cukup membuat perut kenyang seketika.
Aku ditempatkan di keluarga Kalelena. Wajahnya tegas, alisnya cukup tebal perawakannya besar, rambutnya ikal dan kulitnya sawo matang. Membuatku memberikan penilaian awal bahwa keluarga Kalelena ini berwatak keras dan galak. Namun penilaian awalku meleset. Dibalik tampilannya yang demikian ternyata keluarga Kalelena sangatlah ramah saat menerima tamu dari luar, belum lagi istri dan kedua anaknya yang tak kalah baik pula. Benar bahwa jangan menilai seseorang dari penampilan luarnya saja, tapi lihatlah dalam hatinya. Selama masih dalam satu tanah air yang sama, satu kesatuan Negara Republik Indonesia, tentulah mereka sama-sama bersikap baik pula. Layaknya semboyan Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tapi satu.
Malam pertama homestay disini aku beramah tamah dengan keluarga Kalelena. Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari Papah Daud, Mamah Febi, Shovi dan Kevin. Malam pun terasa cepat berganti pagi, karena tubuh ini cukup rindu bertemu daratan setelah seminggu penuh berada di lautan. Ramah tamah dan perbincangan semalam dilanjutkan lagi dengan secangkir teh manis hangat. Sambil saling mengenal lebih dekat. Logat orang Kupang yang khas tentu sangat jauh berbeda dengan logat bahasa ku dari tatar Sunda.
“Mandi disini su dua kali kulit hitam, mandi disana (bandung) su sekali sa kulit putih” Ungkap Papah Daud memecah keheningan. Karena memang saat itu belum ada satupun yang memulai percakapan, sontak semua tertawa serentak.
Kegiatan homestay ini bukan sekedar tinggal di rumah warga saja, tapi juga ada kegitan yang dilakukan seperti bakti sosial, kerja bakti lingkungan sekitar dan lingkungan pesisir pantai. Selain itu ada yang menjadi ciri khas di kota ini, yakni tarian persahabatan, biasa disebut tari “Ja’i” dan tari “Gemufamire”. Setiap malam aku dan keluarga, ya bagiku keluarga Kalelena sudah terasa bagaikan keluarga kedua setelah keluargaku di Bandung.
Setiap malam aku selalu di ajak untuk jalan-jalan malam dengan mobil keluarga Kalelena. Malam kedua kami diajak ke pantai Pesisir, disana suasananya sangat hangat dan bersahabat. Setelah itu lanjut untuk makan malam. Papah Daud menghentikan mobilnya di sebuah kedai makan, kedai tersebut menjual daging babi dan daging rw (anjing). Aku mengerutkan dahi, tentu saja aku tak bisa memakan makanan tersebut, karena dalam agamaku makanan tersebut haram atau dilarang untuk dimakan. Namun mamah Febi langsung menarik tanganku menuju rumah makan Padang. Ia mengerti betul bahwa aku seorang muslim. Tergambar jelas dengan pakaiaku yang mengenakan jilbab sebagai identitasku. Hal tersebut menyadarkanku, bahwa selain ramah, baik, ternyata merekapun memiliki toleransi tinggi dalam ber-agama. Begitupun kala tiba waktu shalat, mereka justru yang menyiapkan tempat ku beribadah yang nyaman serta membantu menanyakan arah kiblat untukku beribadah shalat.
Tak terasa sampailah di penghujung acara homestay. Artinya aku harus kembali ke kapal untuk melanjutkan kembali pelayaran nusantara ini. semua barang bawaanku di pack rapih kemudian dimasukkan kedalam mobil. Papah Daud bersikukuh ingin mengantarkanku sampai ke pelabuhan. Namun hal tersebut tak bisa, aku harus tetap naik mini bus yang sudah disediakan penyelenggara acara ini. akupun bergegas menuju mini bus. Mamah Febi menghentikan langkahku, kemudian ia menyodorkan sebuah baju yang terbuat dari kain tenun ikat asli Nusa Tenggara.
“Apa ini mah?” tanyaku
“Ini, baju mamah waktu masih gadis, saat hendak dilamar papah. Ini untukmu nak” ungkap Mamah Febi dengan air mata yang tak tertahankan untuk tumpah. Membuatku turut terpacu menumpahkan air mata pula.
Aku masih terpaku, tak dapat berkata-kata. Karena aku tahu betul bahwa harga kain tenun ini sungguh mahal harganya. Seketika aku memeluk mamah, seraya mengucap terima kasih padanya.
“Konon katanya, siapa sa yang diberikan kain tenun asli dari sini maka akan datang kembali kesini” bisik mamah ke telingaku dengan lembut.
Aku hanya menganggukkan kepala dan semakin memeluk erat tubuh mamah Febi. Tak lupa melakukan salam khas NTT, dimana hidung bertemu dengan hidung. 

0 comments:

Post a Comment

 

Coretan Gigi Kucing Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea