Kosong menghantui di depan wajah seorang gadis. Ia hanya
menatap nanar kedalam selembar kertas kosong. Entah apa yang dipikirnya, hanya
gelap dan remang tak menentu. Pikirannya sama layaknya kertas itu kosong.
Bahkan setitik pun tak ada, pikirannya buntu. Semua itu terjadi karena
terlampau banyak masalah yang menghantuinya. Membuatnya takut untuk bercerita
pada siapapun. Hanya selembar kertas yang ia percaya.
Detik demi detik terus bergulir, berlalu begitu saja. Sedang
ia masih tetap bertahan menatap selembar kertas kosong itu. Satu jam dua jam
sampai tiga jam ia mematung menatap selembar kertas kosong itu. Beberapa detik
kemudian, gadis itu mulai beranjak mencari sebuah pena. Ia membuka laci tua
dibawah meja kerjanya. Hanya ada tumpukan kertas lusuh berisikan catatan
hariannya. Setumpukan kertas itu ia angkat. Debu berterbangan bak dandelion terhembus
angin, membuatnya bersin tak karuan.
Lembaran itu sudah membusuk sepuluh tahun dalam lacinya itu.
Ia meniup debu itu dengan lembut. Terbangkan angin debu itu menyeruak. Hingga
membuat dirinya lupa akan apa yang ia cari. Terenyuh kembali melihat catatan-catatan
perjalanan hidupnya yang rumit. Lembaran-lembaran kertas yang telah menguning
bertuliskan tulisan tangannya sendiri sepuluh tahun lalu. Samar tulisan penanya
memudar karena lapuk termakan usia kertas itu sendiri. Bau kertas lapuk itu
menusuk hidungnya.
Gadis itu membaca kembali kisah hidupnya sepuluh tahun
silam. Sesekali membuatnya tertawa jenaka, sesekali ia mengerungkan keningnya
mengingat-ingat kejadian silamnya itu. Ia terhenti pada beberapa lembar
kisahnya. Matanya mulai berlinang air mata. Teringatkan kembali bahwa ia pernah
meregang nyawa. Kalau bukan karena lelaki itu mungkin ia sudah tak dapat
rasakan setiap hembusan nafas lagi. Lelaki yang benar-benar tulus menyayanginya
kini telah tiada mengorbankan hatinya.
Demi menyambung nyawa gadis yang
dicintai ia serahkan bagian organ tubuhnya sendiri.
Pada usianya yang telah menginjak kepala tiga, ia masih
bertahan dalam kegadisannya. Hari-harinya hanya ia lakukan dengan rutinitas
sebagai penjual nasi kuning. Pada penghujung hari maka gadis itu hanya
menghabiskan waktunya untuk terduduk di kursi kamarnya untuk kembali melakukan
kebiasaan sepuluh tahun silamnya itu. Menulis catatan harian.
Namun tetap saja gadis itu kosong. Seakan semua terhenti
sejak matinya lelaki yang baru ia sadar mencintainya sepenuh hati.
Tangan-tangannya pun mati untuk menuliskan kisahnya sendiri.
Lembaran-lembaran kisahnya ia letakan kedalam laci dengan
hati-hati. Tanpa ia sadari sepenggal kisahnya itu menghidupkan kembali
semangatnya untuk kembali menulis sebuah catatan harian.
Teringatkan lagi akan
semangat lelaki yang mencintainya sepenuh hati itu. Betapa tidak, sepanjang
hidup lelaki itu selalu hadir menghiasi hari-hari sang gadis. Hingganya membuat
tangan-tangan gadis itu penuh kekuatan untuk terus menulis kisah-kisah haru,
sedih, senang bersama lelaki itu.
Tak ada yang tersisa dari lelaki itu selain hati yang kini
hidup dalam tubuh gadis itu. Kedua lengannya menyentuh perut bagian kanan atas.
Ya! Hati lelaki itu masih hidup. Lantas mengapa gadis itu hanya berlarut-larut
dalam kelam. Bukankah sejak sepuluh tahun lalu lelaki itu masih hidup? Menyatu
dalam tubuh gadis itu.
Semangat itu kembali terpercikkan dalam dirinya. Seakan-akan
ada setitik terang dalam gelap. Bagaikan lilin yang menyala ditengah gelap
gulita. Semangat itu ada. Semangat untuk melanjutkan kisahnya dalam
lembaran-lembaran kertas kosong. Gadis itu bergegas kembali mencari pena.
Ternyata pena itu tergeletak dibawah tumpukan lembaran-lembaran catatan
hariannya. Pena itu berdebu, sama berdebunya dengan lembaran-lembaran catatan
silamnya itu. Gadis itu meniupkan udara
untuk mengusir debu yang meliputi penanya itu. Sesekali ia bersin dibuatnya.
Setelah dirasa cukup bersih, ia mulai menuliskan lagi kisahnya dalam selembar
kertas kosong.
Saat pena itu menempel pada kertas kosong itu ternyata hanya
guratan kertas tak terlihat. Tentu saja tinta dalam pena itu telah mengering
dan mengendap selama sepuluh tahun. Gadis itu membuka penutup pena dan
mengisikan kembali tinta kedalam pena tua itu. Setelah menutupkan penutup pena
itu ia kembali pada posisi siap menulis. Pena pun mulai menari-nari diatas
kertas. Bersama tangan sang gadis.
Satu kalimat yang tiba-tiba saja muncul di benak gadis itu.
Kalimat semangat dari lelaki yang raganya telah tiada namun jiwanya masih hidup
dalam tubuhnya. “Tuliskanlah kisahmu sebelum mati, maka tulisan itu akan tetap
hidup walaupun kau telah mati”
Kalimat itulah yang ia tuliskan dalam selembar kertas kosong
itu. Gadis itu beranjak lagi dari tempatnya menulis. Ia mencari sebuah alat pemotong
untuk menempelkan tulisannya. Namun tak ia temukan sebuah alat pemotong.
Akhirnya ia merobek perlahan selembar kertas itu mengikuti alur kalimat yang
telah ia tuliskan. Dengan hati-hati ia merobek kertas itu, agar tak ada kalimat
yang telah ia tulis hilang katanya begitu saja. Sempurna ia merobek kertas itu
tanpa ada kalimat yang terpotong sedikitpun. Gadis itu menempelkan secarik
kertas di tembok kamarnya. Hingganya secarik kertas itu bisa menjadi pengingat
dan pemberi semangat untuk sang gadis menuliskan semua catatan hariannya lagi.
Kelak gadis itu akan membuktikan bahwa ia dapat membuat
suatu karya sebelum ia mati.
1 comments:
NIce story :)
Btw follow my blog yups http://oasekomunikasi.blogspot.com/
Post a Comment