Monday, September 5, 2011

Awanpun Bertasbih

Posted by Gigikucing at 2:32 AM
Mega jingga indah membentang sepanjang langit. Sang raja siang sudah saatnya terlelap dan terbit di belahan bumi sebelah barat. Menjemput sang empunya malam berhiaskan awan malu malu memerah menghiasi jingganya sore ini. Segerombolan burung mengepakkan sayap bergegas meninggalkan tenggerannya di beberapa kabel tiang listrik. Gadis berjilbab merah jambu itu
masih saja terhanyut memandangi kuasa-NYAyang sulit dilukiskan dalam kanvas oleh kuas yang dipegangnya.
Termenung bukan karena indah jingga ciptaan-NYA saja. Lukisan yang tak terlukiskan itu seperti menggambarkan keadaan hatinya. Pemandangan indah yang hanya sementara bertahan di jingga langit. Khofiyya yang biasa di panggil Fiyya ini harus bergegas melukiskannya. Namun entah ada angin dari mana hingga membuat Fiyya hanya duduk terpaku di rerumputan pinggir sungai depan rumah tempat tinggalnya.
Kala melihat masa lalunya yang begitu suram dan karena hidayah Allah yang memberikan cahaya baru lewat perantara-Nya. Bukan dia bukan malaikat Jibril. Bukan juga Jin. Dialah yang membuat labuhkan hatinya hanya terkunci pada perantara hidayah-NYA itu. Dia yang telah menuntun Fiyya ke jalan yang lurus hingga dekat kepada Tuhannya itu.
Terlalu sering ia bertanya-tanya “inikah cinta-Mu? Begitu sayangnya Engkau kepadaku. Engkau selalu dekat denganku bahkan lebih dekat dari urat leherku. Padahal akulah yang begitu jauh dari-Mu.”
...
Ini kedua kalinya Aisyah kembali ke jalan yang sama depan rumah Fiyya. Kali pertama ia melewati jalan itu sekilas melihatnya dengan kanvas yang masih putih bersih. Saat kembali dengan membawa makanan untuk berbuka puasa di keranjang sepedanya ia melihat Fiyya lagi. Tidak berubah sama sekali dari posisinya saat pertama ia melihatnya di rerumputan itu.
Lantas ia menghentikan kayuhannya dan segera turun dari sepeda ungunya. Gadis bejilbab hijau ini segera menghampiri sahabatnya yang tengah duduk di rerumputan sepanjang sungai bersama seperangkat alat lukisnya. Ia merasa janggal karena kanvasnya masih belum juga tergoreskan kuas.
“Assalamu’alaikum yaa ukhti”
Fiyya menoleh ke arah datangnya sumber suara sembari menjawab salam. “Wa’alaikumsalam Warahmatullah”
“Ada angin darimanakah yang membuatmu tidak beranjak dan segera melukiskan pemandangan yang indah ini?” tanya sahabatnya itu dengan menjabat tangan Fiyya sambil cipika cipiki.
“Aku hanya termenung karena lukisan Tuhan yang indah ini.” Fiyya melepaskan jabatan tangan Aisyah sambil menatap pemandangan di langit sore itu.
“Hmm.. Sepertinya bukan hanya karena itu. Ceritalah apa masalahmu semoga aku dapat membantu dan membuatmu lega.”
Fiyya terdiam, ia sebenarnya ragu untuk bercerita. Hanya ibu dan ayahnya yang tahu masalahnya. Namun bagaimanapun Aisyah adalah sahabatnya sejak TK.
Fiyya menghela nafas panjang dan menghembuskannya
 “Fiuuuhh Baiklah aku akan cerita.”
 Namun bibirnya begitu kelu untuk mengungkapakan semua yang kini terus menghantui pikirannya.
Fiyya masih saja terdiam, lalu Aisyah mengagetkan sahabatnya itu.
 “Hayooh kok diem lagi?”
“ hmm..jadi begini, sudah ada tiga ikhwan yang datang meminangku, tapi tak ada satupun yang aku terima”
“Mengapa? Kau kan cantik, shalehah. Banyak yang ingin menjadi imam-mu”
“Aku tidak mencintainya.”
Aisyah mengerutkan kedua alisnya. karena alasannya yang, yaa bisa dibilang singkat padat tapi jlebb. Aisyah terus meneror Fiyya dengan berbagai pertanyaan.
“Lantas siapa yang kau cintai?”
“Aku mencintai seorang ikhwan, tapi aku bingung bagaimana mengungkapkannya.”
“Mengapa kau tidak mencari orang terdekat untuk kau jadikan perantara?”
“Bahkan aku tidak tahu siapa orang terdekat dengannya dan aku tidak tahu persis dimana rumahnya.”
“Lantas bagaimana kau bisa mencintainya?”
“Itulah Cinta”
 “Istikharahlah. Bukankah jelas dalam Al-Qur’an; boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui
Mata Fiyya berkaca-kaca mendengar potongan ayat yang dibacakan sahabatnya itu. Tak kuasa ia menahan butiran-butiran yang terus mengalir membasahi kedua pipinya. Aisyah segera mengusap airmata yang ada di pipi Fiyya dengan kedua tangannya. Ia memeluk dan membantu membereskan alat-alat lukis Fiyya.
“Sudahlah sebaiknya kau tidak perlu menunggu sesuatu yang tidak pasti. Banyak ikhwan saleh yang pantas bersanding denganmu.”
Fiyya hanya terdiam meng-iyakan saran Aisyah. Karena waktunya juga yang telah semakin mendekati waktu berbuka. Fiyya mengajak Aisyah untuk berbuka di rumahnya. Namun ia menolak, karena ia telah membeli takjil untuk keluarganya berbuka puasa. Aisyah pamit pulang dengan membawa sepedanya.
...
Bunyi petasan sudah tak asing lagi menemani perjalanan Fiyya menuju rumah Allah. Andaikan anak anak itu mengerti betapa berharganya uang yang mereka belanjakan petasan hanyalah sia-sia. Indah memang melihat bunga-bunga api yang warna-marni menjulang indah hiasi langit yang kelam. Setiap harinya setelah berbuka sembari menunggu waktu terawih mereka asyik bermain main bunga-bunga api itu. Bahkan ada yang tidak pernah tarawih sama sekali. Namanya juga masih anak-anak.
Sesampainya di masjid, Fiyya segera mengeluarkan mushaf yang dibawanya. Bertilawah sembari menunggu isya. Hingga membuatnya terhanyut dalam lantunan ayat-ayat suci-Nya. Hingga berkumandang azan di setiap masjid yang ada.
Seusai tarawih Fiyya tersentak seketika setelah keluar dari masjid. Seseorang yang selama ini menjadi kunci dari gembok hatinya itu ada di seberang jalan masjid tempat ia keluar. Semakin Fiyya mendekainya, semakin ia yakin bahwa orang itu adalah ‘dia’ yang selama ini di cari-cari.
Seorang laki-laki yang mengenakan celana hitam panjang kaos putih dengan jaket hitam itu seraya mendekatinya. Ia menyapa Fiyya dengan menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.
 “Assalamu’alaikum, dik Fiyya,” Ia biasa memanggilnya dik Fiyya.
Salam darinya membuat langkah Fiyya terhenti dan membuat jantungnya semakin berdebar-debar, sehinnga Fiyya menjawab salamnya dengan gugup, “Wa wa’alaikumsalam warahmatullah. Ini kak Ilman?”
“Ya ini kakak, tadi kakak ikut tarawih disini sekalian mau memberikan sesuatu.”
Ia membuka tas di punggungnya lalu mengaluarkan sebuah amplop putih dan memberikannya pada Fiyya.
Fiyya melihat amplop itu, disana tertulis ‘Walimatul Ursy’.
“Ohh undangan walimah, Barakallah. Kalau boleh tahu, siapa kak yang menikah?”
“Lihat saja isinya, kakak buru-buru nih. Pamit pulang dulu ya. Assalamu’alaikum.” Ia segera membalikkan badannya.
“Wa’alaikumsalam,” mata Fiyya masih memperhatikannya, lalu menunduk sambil beristigfar dengan memejamkan matanya.
Fiyya hanya menyimpan amplop itu di balik mukenanya. Begitu senang tiada tara akhirnya Fiyya bertemu lagi dengan pengunci hatinya itu setelah tiga tahun tak bertemu. Ternyata ia masih ingat jalan ke rumah Fiyya. Bahkan ia sampai salat tarawih di masjid dekat rumahnya.
Setibanya di rumah Fiyya tak ingat akan amplop yang telah diberikan kepadanya. Fiyya hanya meletakkan mukena dan tertidur lelap di atas ranjang kamarnya.
Keesokan harinya Fiyya terbangun untuk membantu ibunya menyiapkan makan sahur. Sambil menghangatkan masakan sisa kemarin berbuka, ia bercerita kepada ibunya tentang pertemuannya dengan Ilman. Belum juga Fiyya selesai bercerita, ibunya memotong cerita.
“Lantas apa yang diberikannya?”
“Oh iya undangan walimah. Fiyya juga lupa bu belum membaca siapa yang menikahnya.”
Fiyya meninggalkan serok yang sedang dipegang lalu bergegas menuju kamar. Amplop itu masih ada di balik mukenanya. Lantas ia membukanya.
Degg.. jantung seakan berhenti memompa darahnya. Air mata sudah tak terbendung lagi, kini tak ada hentinya mengalir melewati pipinya menetes ke surat itu. Tangannya lemas sampai menjatuhkan undangan yang sedang dipegangnya.
Setelah hidangan sahur siap dihidangkan, ibunya membuka pintu kamar Fiyya. Ia heran mengapa sampai membuatnya menangis tanpa sendu pada anaknya. Tanpa pikir panjang lagi ia segera mengambil undangan yang tergeletak di lantai kamar Fiyya. Ia tersentak setelah membaca surat undangan berwarna putih bercorak coklat itu.
 Tertulis jelas di dalamnya “Menikah Ai Fitriyani dengan Ilman Nur Hadi.
Beberapa kali bu Sarah mengucek matanya barangkali salah lihat. Tapi tulisan itu tak berubah. Wanita yang telah melahirkan Fiyya itu kembali memandangi wajah anaknya. Ibu begitu mengerti bagaimana hatinya yang sedang bergejolak. Ibu memeluknya, lalu mengusap air matanya dengan lembut.
“Sudahlah nak, sedari dulu ibu telah mengingatkanmu. Janganlah kamu mencintai seseorang terlalu dalam. Karena kau akan menyesal jika memang dia bukan jodohmu. Tiga orang telah kau tolak begitu saja, ibu mengerti dengan alasanmu mau fokus kuliah dulu. Lain kali jika ada lagi yang datang menyuntingmu, kau terima saja. Toh kuliahmu setahun lagi beres kan.”
 Ibu melepaskan pelukannya. Fiyya hanya terdiam sedangkan air matanya terus  mengalir. Berkali kali bu Sarah mengusap air mata anaknya itu.
“Sudah, sebaiknya sekarang makan sahur dulu.”
“Tidak bu, aku tidak nafsu makan.”
“Eits, ayo makan dulu. Nanti anemiamu kambuh lagi loh. Apa perlu ibu suapi?” sambil menggandeng pinggang anak yang sudah lebih tinggi beberapa sentimeter darinya itu.
“Eh tidak usah bu, Fiyya makan tapi sedikit ya bu.”
Aku sungguh tak menyangka. Hatiku begitu hancur. Remuk. Tak semangat menjalani hari ini. Aku jadi teringat saat aku mengenalnya dulu. Gerutu Fiyya dalam hati.
...
Jalanan depan rumah Fiyya yang belum di beton begitu penuhnya debu yang biasa terhempas angin. Namun pagi itu tak ada satupun debu yang menari dengan angin. Jalanan tampak basah. Bukan karena embun bukan juga kabut. Gerimis mengacaukan tarian mereka.Pagi yang berawan kelabu cukup bagi Fiyya melukiskan keadaan hatinya.
Di perjalanan menuju kampus itu membuatnya terus terlarut dan semakin termenung. Pernikahan orang yang benar-benar ia cintai dua minggu lagi berlangsung. Satu minngu setelah Hari Raya tepatnya. Apakah ia harus datang? Entahlah membaca undangan itu saja membuat batinnya menjadi hancur berkeping-keping. Apalagi mendengar orang yang dicintainya itu mengucapkan ijab kabul bukan atas nama dirinya.
Apa jadinya aku nanti?
Teh Ai adalah seseorang yang Ilman cintai. Ia tahu persis karena Ilman sendiri yang cerita langsung kepadanya. Bahkan teh Ai lah yang membuatnya sadar. Bahwa orang yang Ilman cintai itu sosok sepertinya. Hal itu terjadi tiga tahun yang lalu. Saat Fiyya masih duduk di bangku SMA. Mereka adalah kakak kelasnya sendiri. Terpaut tiga tahun juga dengannya, jadi saat Fiyya masuk sekolah SMA mereka telah lulus dan menjadi alumni. Lantas bagaimana mungkin Fiyya bisa mengenal mereka?
To Be Countinue to Awanpun Bertasbih (Part II)

0 comments:

Post a Comment

 

Coretan Gigi Kucing Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea